YOGYA (KR) – Sekretaris Klaster Agro UGM Dr Cahyono Agus mengatakan, banyaknya bencana banjir, kekeringan, longsor dan bencana alam lainnya telah mendorong pendidik dan praktisi agroforestri agar dapat mengemas siklus produksi petani, kondisi sosial-ekonomi, bio-fisik, politik, kebijakan local-nasional-internasional.
"Di samping itu juga dampak mata pencaharian penduduk, produktivitas lahan, kelestarian lingkungan serta analisis risiko maupun sistem tukar tambah dalam memberikan solusi terbaik bagi pembangungan nasional," ujar Dr Cahyono Agus, Jumat (3/2) menjelang seminar, workshop, general meeting pendidikan agroforestri, 7-8 Februari 2006.
Kegiatan tersebut akan digelar di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM kerja sama Indonesian Networking for Agroforestry Education (INAFE) Klater Riset Agro UGM, Jaringan Pendidikan Agrokompleks UGM, Departemen Kehutanan dan Perum Perhutani. Tema yang diusung dalam pertemuan tersebut ‘Peran Pendidikan Agroforestri dalam Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPKK).
Menurut Dr Cahyono Agus, degradasi lahan yang mencapai 2,8 juta hektar per tahun dan saat ini lahan rusak di Indonesia mencapai 59 juta hektar menyediakan sarana bagi implementasi sistem agroforestri ini agar kerugian material dan immaterial tersebut tidak semakin mengganas.
"Bahkan bisa diubah menjadi lahan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian terpadu dengan sistem agroforestri barangkali akan merupakan salah satu kontribusi nyata bagi tercapainya kesuksesan program RPKK, maupun lingkungan hidup yang telah dicanangkan Presiden SBY tahun lalu" ujar Dr Cahyono Agus.
Dikatakan oleh staf pengajar pada Fakultas Kehutanan UGM ini, praktik agroforestri sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi petani di lahan kritis, bahkan kadang hanya dianggap sebagai istilah baru bagi praktik lama yang lebih bersifat mono-disipliner tersebut. Pendekatan menyeluruh agar pengelolaan sumberdaya alam dapat berkelanjutan menuntut keseimbangan antara produksi dan konservasi lingkungan.
Hal ini hanya dapat didekati secara multidisipliner lewat paradigma baru agroforestri yang menuntut partisipasi antar-pihak. Perguruan tinggi dituntut melaksanakan mandatnya. (Asp)-o.
Berita dikutip dari Koran Kedaulatan Rakyat