Menyambut Bulan Lingkungan Hidup 2006
BUMI KITA MAKIN RENTA DAN SEKARAT
Oleh: Cahyono Agus
Bumi tempat kita hidup, merupakan satu-satunya planet kecil dari gugusan planet yang ada di tata-surya, yang paling cocok untuk kelangsungan hidup bagi tumbuhan, hewan dan manusia. Untuk itu, upaya perlindungan bumi seisinya adalah bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan dan kehidupan berkelanjutan di bumi ini. Tanpa cukup perlindungan lingkungan hidup, pembangunan dan kehidupan ini akan sia-sia belaka. Sedangkan tanpa pembangunan, sumber daya alam di bumi ini akan tidak mencukupi untuk menstimulir pembangunan dan kehidupan, sehingga perlindungan lingkunganpun juga akan gagal.
Bumi kita terbentuk dalam jangka waktu juta-an hingga milyard-an tahun lamanya, sementara biosphere bumi yang berupa tanah hanya terbentuk sedalam rata-rata 1 meter saja. Dengan demikian, pembentukan biosphere tanah membutuhkan waktu yang relatif sangat lama. Pembentukan tanah setebal 1 cm bisa membutuhkan waktu lebih dari 100 tahun lamanya, tergantung faktor pembentuk tanahnya. Sementara itu, kerusakan tanah dan lahan oleh ulah manusia dapat terjadi dalam tempo yang sangat singkat. Perbaikan terhadap kerusakan sumber daya alam (SDA) relatif tidak dapat atau sangat sukar dan sangat mahal untuk diperbaiki. Di lain pihak, kerusakan lahan dapat membahayakan sektor-sektor ekonomi lain yang sangat merugikan kehidupan manusia, karena terkena banjir, longsor, kekeringan, lahan kritis dsb.
Seluruh kehidupan di bumi ini diyakini sepenuhnya berasal mula dari tanah, proses kehidupannya tergantung dari tanah dan akan berakhir menjadi tanah kembali. Menurut teori abiogenesis modern, asal mula kehidupan berasal dari asam-asam amino yang terjerap dalam tanah yang kemudian mengalami suksesi membentuk kehidupan di dunia ini. Sedangkan menurut ajaran agama, manusia dan kehidupan pertama di bumi ini tercipta dari unsur dalam tanah. Proses kehidupan seluruh makhuk hidup di bumi ini, tanpa kecuali, langsung ataupun tidak langsung, sangat tergantung pada unsur-unsur dalam tanah, sehingga tidak bisa hidup langgeng tanpa unsur tanah. Selanjutnya, seluruh makhuk hidup di dunia ini akan mati dan mengalami perombakan (dekomposisi) kembali menjadi unsur-unsur seperti dalam tanah. Upaya mencari kehidupan di luar bumi ternyata tidak berhasil karena kondisi lingkungan hidupnya yang tidak sesuai untuk kehidupan berkelanjutan.
Kompetisi penggunaan lahan di bumi ini untuk kepentingan manusia melalui sektor kehutanan, pertanian, perkebunan, pertambangan, perumahan, sosial budaya, pengembangan wilayah, infra-stuktur serta pembangunan sektor ekonomi lainnya telah mengakibatkan wajah dan lingkungan hidup di kulit bumi kita seperti makin gundul, bopeng, keriput, panas, kering, kerontang, berdarah, bonyok, sekarat dan terlihat begitu renta. Nah, pada kondisi seperti ini barangkali kita baru dapat langsung merasakan dampak negatif hilangnya jasa lingkungan hidup di sekitar kita, justru di saat peran lingkungan hidup tersebut sedang sangat dibutuhkan. Namun ternyata, upaya penyelamatan dan perbaikan kondisi lingkungan ternyata tidak juga mendapat porsi dan prioritas utama di tempat kita. Sebenarnya hutan tropika mampu melakukan recovery kembali apabila tidak dijamah manusia dalam jangka waktu ratusan tahun. Namun demikian upaya alami ini jelas tidak mungkin efektif memperbaiki lingkungan dan menopang kehidupan manusia yang justru semakin terdesak kebutuhan hidupnya sehingga terpaksa merusak alam lingkungan sekitar.
Wilayah tropika dikenal sebagai paru-paru dunia karena luasan dan perannya yang sangat besar dalam menyangga ekosistem dunia. Penebangan hutan yang berlebihan di tropika dan pembangunan industri yang semakin maju ternyata mempercepat siklus hidrologi, meningkatkan konsentrasi CO2 di udara 30% lebih banyak, pemanasan bumi meningkat 3oC serta kenaikan muka air laut 1 meter lebih tinggi dibanding abad sebelumnya, sehingga mengakibatkan perubahan drastis pada kondisi bumi kita yang terasa semakin tidak nyaman.
Laju kerusakan hutan Indonesia yang mencapai 2,8 juta hektar pertahun saat ini, telah mengakibatkan luas hutan kita tinggal separohnya (60 juta hektar) hanya dalam jangka waktu 40 tahun. Dan hutan kita nampaknya akan habis dalam waktu kurang dari umur satu generasi manusia. Sedangkan, hutan tropika basah di garis katulistiwa yang sempat kita banggakan sebagai paru-paru dunia, dapat terbentuk dengan baik karena nyaris tidak terjamah manusia selama ribuan tahun. Lebatnya hutan Kalimantan dan Papua dulu juga bukan karena suburnya tanah dibawahnya, karena justru tanah tersebut sangat tua dan gersang. Tetapi hanya karena didukung oleh siklus hara tertutup yang mampu mendukung kehidupan di atasnya secara mandiri. Begitu hutan dibabat habis dan bahan tambang dibongkar untuk hajat hidup manusia sesaat, maka proses kerusakan dan penuaan bumi inipun menjadi semakin tak terkendali.
Nampaknya kerusakan lingkungan hidup di bumi kita harus sudah segera ditangani secara serius dan menyeluruh oleh seluruh penghuni planet bumi ini. Kita perlu membuat harmoni dengan bumi, sehingga bumi menyediakan air, udara, kelembaban, temperatur sesuai dengan jumlah dan kualitas seperti yang kita butuhkan. Ketersediaan yang lebih rendah atau justru berlebihan dibanding yang kita butuhkan, berakibat bencana pada kita semua. Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari bumi ini, sehingga kita harus merawat bumi dengan baik, demi kepentingan kita juga. Kalau kita merusak dan menentang bumi, maka bumi juga akan melakukan antisipasi yang ternyata justru sangat merugikan kita semua. Upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup di bumi ini perlu ditumbuhkan dan diterapkan secara nyata dalam setiap kehidupan kita sehari-hari. Peran pemerintah, swasta, perguruan tinggi, LSM dan seluruh lapisan masyarakat sangat dibutuhkan untuk me”ruwat” bumi kita ini. Karena menyelamatkan bumi kita satu-satunya ini, berarti kita juga menyelamatkan awal, proses dan akhir kehidupan kita.
Informasi Penulis:
Dr. Ir. Cahyono Agus, M.Sc.