Hutan tropika dikenal sebagai paru-paru dunia karena luasan dan perannya yang sangat besar dalam menyangga ekosistem dunia. Penebangan hutan yang berlebihan di tropika dan pembangunan industri yang semakin maju ternyata mempercepat siklus hidrologi, meningkatkan konsentrasi CO2 di udara 30% lebih banyak, pemanasan bumi meningkat 3oC serta kenaikan muka air laut 1 meter lebih tinggi dibanding abad sebelumnya, sehingga mengakibatkan perubahan drastis pada kondisi bumi kita yang terasa semakin tidak nyaman.
Laju kerusakan hutan Indonesia yang mencapai 2,8 juta hektar pertahun (setara 2 lapangan bola setiap detiknya) dan kompetisi penggunaan lahan hutan untuk tujuan lain (pertanian, perkebunan, pertambangan, sosial budaya, infra-stuktur dsb) telah mengakibatkan benturan peranan dan fungsi lahan serta penurunan peran hutan di dalam menyangga ekologi global. Sudah separoh lebih luas hutan kita yang hilang dan berubah menjadi lahan rusak. Sisa hutan kita yang hanya berkisar 60 juta ha akan habis dalam jangka waktu tidak lama lagi bila tidak ada tindakan penyelamatan intensif. Hutan di AS, Eropa dan Jepang sempat rusak berat dalam jangka waktu ratusan tahun dan dapat segera diperbaiki, namun hutan tropika Indonesia telah dinyatakan rusak berat hanya dalam jangka waktu 40 tahun dan nyaris tak mampu untuk diperbaiki. Bahkan laporan tentang semakin rusaknya hutan dan kegagalan penghutanan kembali justru lebih menonjol. Eronisnya, hampir seperempat hutan tropika kita hilang pada masa setelah tahun 1997/1998 karena adanya reformasi kebablasen yang lebih dimaknai oleh sebagian masyarakat sebagai kebebasan tanpa batas untuk melakukan pelanggaran norma-norma aturan dan hukum yang ada. Pada masa itu, illegal logging dan pengrusakan hutan menjadi fenomena yang biasa tanpa mempertimbangkan dampaknya. Nah, saat ini barangkali kita baru dapat langsung merasakan dampak negatif hilangnya jasa lingkungan hutan di sekitar kita, justru di saat peran hutan tersebut sedang dibutuhkan. Sebenarnya hutan tropika mampu melakukan recovery kembali apabila tidak dijamah manusia dalam jangka waktu ratusan tahun. Namun demikian upaya alami ini jelas tidak mungkin efektif memperbaiki lingkungan dan menopang kehidupan manusia yang justru semakin terdesak kebutuhan hidupnya sehingga terpaksa merusak alam lingkungan sekitar.
Curah hujan di daerah tropika yang biasanya berkisar 2000-3000 mm pertahun tidak bisa lagi diserap lebih lama oleh permukaan bumi yang gundul, sehingga langsung dibuang ke laut melalui permukaan bumi. Hal ini, karena hutan yang berfungsi bagai media spon untuk penyerap air relatif telah hilang. Curah hujan di bulan basah di Jember dan Banjarnegara yang berkisar 100-200 mm perbulan, bisa tercurah ke bumi ini hanya dalam waktu semalam. Dengan daya tampung lahan yang terbatas maka akan mengakibatkan banjir dan longsor. Lokasi banjir dan longsor kali ini tidak sepenuhnya karena hutan setempat rusak, tapi karena fenomena alam global yang mengakibatkan gelontoran air hujan terkonsentrasi hanya dalam semalam, sehingga menjadi energi maha dasyat untuk menyapu alam sekitar kita. pada daerah pemukiman dengan kemiringan yang sangat terjal Adanya penanaman pohon hutan yang tidak tepat (perakaran dangkal, tajuk tebal, lereng terjal, tegak lurus kontur dsb) ternyata justru mengakibatkan beban gravitasi lahan hutan tersebut semakin berat sehingga gelontoran air hujan menjadi pemicu banjir dan longsor yang membawa bencana tak terperi.
Dengan demikian, lingkungan global/makro yang telah rusak ternyata lebih mempengaruhi bencana alam banjir dan longsor di Jember dan Banjarnegara, yang kemudian diperparah dengan kondisi mikro yang juga tidak baik. Tentu saja, lingkungan global tersebut terbentuk dari kumpulan lingkungan mikro. Dengan demikian perbaikan lingkungan global harus dimulai dengan perbaikan lingkungan mikro di sekitar kita. Adanya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau ini disebabkan adanya perubahan global lingkungan bumi kita, yang tentunya disebabkan oleh tingkah polah penghuni bumi kita sendiri.
Nampaknya kerusakan di bumi kita harus sudah segera ditangani secara serius secara menyeluruh oleh seluruh penghuni planet bumi ini. Kita perlu membuat harmoni dengan alam, sehingga alam menyediakan air, udara, kelembaban, temperatur sesuai dengan jumlah dan kualitas seperti yang kita butuhkan. Ketersediaan yang lebih rendah atau justru berlebihan dibanding yang kita butuhkan, berakibat bencana pada kita semua. Kita adalah bagian dari alam, sehingga kita yang harus menyesuaikan alam dengan sedikit modifikasinya. Kalau kita merusak dan menentang alam, maka alam juga akan melakukan antisipasi yang ternyata justru sangat merugikan kita semua. Keberadaan hutan sebagai pengatur air, udara, temperatur dan fungsi ekologi lainnya baru disadari ketika keberadaan dan peran hutan tersebut telah pudar dan manusia merasakan akibatnya. Upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup perlu ditumbuhkan dan di terapkan secara nyata dalam setiap kehidupan kita sehari-hari.
Informasi Penulis:
Cahyono Agus
– Dosen Fakultas Kehutanan UGM
– Dr. Ir. M.Sc.
– HP: 081 5688 8041
– Email: acahyono@ugm.ac.id; acahyono@ugm.ac.id