Pusat Inovasi Agroteknologi Universitas Gadjah Mada (PIAT UGM) kembali mengadakan konferensi pada Kamis (3/12). Konferensi kali ini bernama The 1st International Conference on Industrial Agriculture (ICONIA) yang mengusung tema “Managing Crisis in Industrial Agriculture: Way Forwad”. Acara yang berlangsung satu hari ini melibatkan empat mitra lembaga pendidikan tinggi, seperti Politeknik Perkebunan LPP Yogyakarta, Universitas Janabadra, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (UPN Veteran), dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST).
Dr. Ir. Taryono selaku Kepala PIAT UGM menjelaskan bahwa sebenarnya kegiatan tersebut telah dipersiapkan pada awal tahun ini dan direncanakan dapat diselenggarakan pada bulan Juli lalu. “Pandemi Covid-19 membuat kami harus melakukan beberapa kali penjadwalan ulang serta memikirkan cara yang pas agar acara ini dapat dilangsungkan,” ungkapnya. Hal ini berkaitan dengan urgensi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kegiatan yaitu mendorong peneliti dan praktisi untuk bekerjasama menemukan formulasi yg tepat untuk menyusun kebijakan terkait bidang industrial agriculture.
Konferensi ini pada akhirnya dilaksanakan secara daring via Zoom dan terbagi menjadi dua sesi. Sesi pertama berlangsung pada pagi hari, diisi dengan pemaparan materi dari empat narasumber, yakni Roland Schafleitner, Ph.D (Vegetable Diversity and Improvement Headquarters, World Vegetable Center), Dr. Guilherme Rosi Machado Junior MS (G. Rossi Consultoria E. Representacoes SC LTDA), Prof. Bunyamin Tar’an, Ph.D (University of Saskatchewan), dan Dr. Benisiu Thomas (University of Namibia).
Masing-masing narasumber kemudian secara bergantian memaparkan sub tema pada konferensi ini. Dalam pemaparan pertamanya, Roland Schafleitner menyampaikan bahwa hadirnya World Vegetable Center membawa misi melakukan kajian dan pengembangan potensi sayuran untuk mewujudkan penghidupan yang lebih sehat dan tangguh. Cakupan kajian yang pada awal mula berdiri tahun 1971 hanya sebatas benua asia, kini sudah mencakup lingkup global. Peluasan kajian tersebut tidak dilepaskan dari krisis yang terjadi di bidang industri agrikultur. “There are four steps in overcoming this like improved varieties, agroecological intensification, functioning markets, and conducive policies,” tuturnya. Ia menambahkan bahwa diperlukan juga partisipasi petani dalam kajian yang membahas pendekatan agroekologi produksi tanaman.
Dr. Guilherme Rosi pada sesi berikutnya mencontohkan keberhasilan Brazil yang mengembangkan penanaman tebu berkelanjutan dengan memperhatikan tiga aspek penting seperti cara penanaman, manajemen tanaman, dan melibatkan fungsi ekologis lingkungan. Bantuan alat berbasis bioteknologi juga digunakan untuk mendeteksi penyakit pada tanaman tebu. Selanjutnya, Prof. Bunyamin Tar’an, Ph.D menceritakan tren yang marak di Kanada dimana banyak dikembangkan tanaman berbasis protein setelah negara tersebut memiliki panduan pola hidup sehat. Semboyan “eat well, live well” diterapkan melalui porsi makan yang dianjurkan dengan komposisi setengah piring sayur dan buah, seperempat protein dan seperempat karbohidrat. Keberhasilan ini didapatkan melalui tahap yang panjang dari ilmu dasar, pengaplikasian metode, penerimaan konsumen, hingga dikembangkan menjadi produksi dan mencapai tahap komersialisasi. Sedangkan di Namibia menurut Dr. Benisiu Thomas, negara ini sudah memiliki kesadaran dalam political will untuk mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian. Hal ini didasarkan pada kesadaran pemerintah mengenai kenyataan sebanyak tujuh puluh persen penduduk bergantung pada pertanian sebagai penyambung hidup dan dapat dipotensikan menjadi sumber Gross Domestic Product (GDP) dan membuka kesempatan kerja untuk mengurangi tingkat kemiskinan.