Kecintaan luar biasa dan kemampuan membaca pasar membuat
namanya melambung di kalangan pemerhati dan pencinta tanaman hias. Dialah yang membuat
helikonia atau pachira digandrungi, bahkan menjadi trend di kalangan penyuka
tanaman hias. Tanaman apa lagi yang akan dimunculkan?
Kalau ditengok ke belakang, booming tanaman hias barangkali diawali sekitar 10
tahun lalu. Sejalan dengan itu muncul jenis-jenis tanaman tertentu yang digandrungi
penikmat tanaman, bahkan melahirkan trend baru. Euphorbia, helikonia, palem,
pachira, misalnya, bisa dianggap sebagai benang merah yang menandai perjalanan
selera tanaman hias di kota-kota besar. Tatkala helikonia atau pisang-pisangan muncul ke
permukaan, bisa dibilang tak satu pun taman yang tidak dihiasi tumbuhan asal Kosta Rika
ini.
Di balik lahirnya sebuah trend, ada satu nama yang patut disebut, Santosa
Widjaja (35), pria lajang yang gandrung pada tanaman dan juga binatang sejak masa
kanak-kanak. “Helikonia saya masukkan (ke Indonesia) sejak tahun 1991. Lalu Queen
Palm yang asal Australia. Pachira atau ‘pohon uang’ pertama kali saya datangkan
dari Taiwan tiga tahun lalu,” kata Santosa yang acap disapa Sansan.
Tanaman kuburan
Sansan memang terus mencari kemunginan baru. “Sekarang saya lagi promosikan plumeria,
kamboja,” akunya.
Kamboja yang suka ditanam di kuburan itu?
Betul! Bagi banyak orang, tanaman itu identik dengan urusan yang berbau kematian. Namun
di benak Sansan, kamboja memenuhi syarat sebagai tanaman taman, yang menghadirkan trees
with flowers. Apalagi kamboja adalah satu-satunya pohon di Indonesia yang berbunga
sepanjang tahun, bentuknya bagus lantaran ditopang oleh struktur daun dan batang yang
apik. Juga gampang dipelihara, bisa cepat tumbuh di alam tropika kendati dibiarkan tumbuh
tanpa pupuk dan jarang disiram.
Dengan konsep itu, ia membayangkan bagaimana indahnya halaman rumah andai ditumbuhi
kamboja yang berbunga lebat. Sebelumnya, Sansan sempat melirik flamboyan yang dikenal
dengan julukan Queen of the Flowers, ratunya bunga. Namun, sebagai penghias taman,
bunganya hanya muncul 1 – 2 tahun sekali. Itu pun masif dan tidak bisa dipetik lantaran
kelewat mungil.
Langkah awal mengedepankan kamboja yang banyak tumbuh di Bali ini dimulai
sejak dua tahun lalu. Pria berpenampilan santai ini menyempatkan diri berburu jenis-jenis
kamboja ke segenap pelosok dunia, termasuk Hawaii, Thailand, dan Pulau Dewata sendiri.
“Saya memang tukang jalan. Niat sebenarnya cuma travelling, tapi dasar suka
tanaman, ujung-ujungnya ya borong tanaman apa saja, sampai nggak sempat bawa oleh-oleh
buat teman-teman,” ujarnya. Bila sudah menyangkut tanaman, kemauannya memang luar
biasa. Berapa pun harganya akan dibeli. Bahkan, sekali waktu ia pernah nekat
“mengambil” koleksi di kebun botani lantaran tak bisa dibeli ataupun diminta.
Dari hasil koleksi dan kawin silang berbagai jenis kamboja itu kini paling tidak telah
dihasilkan 50 jenis varian kamboja dengan kisaran warna yang bergradasi dari putih bersih
sampai nyaris hitam. “Bunga putih ini nggak sama dengan yang di kuburan. Kalau yang
di kuburan bunganya lebih kecil. Ini pun bunganya belum normal, kalau normal diameternya
bisa sampai 10 cm,” katanya sembari menunjukkan beragam warna bunga kamboja hasil
kawin silang.
Teknik pengawinan silang antarbunga memang sengaja dilakukan untuk mendapatkan
keturunan yang dikehendaki dengan cara yang cepat. Cara ini sebenarnya meniru persilangan
di alam dengan bantuan angin. Dari 59 jenis kamboja di kebun bunganya yang tak jauh dari
gerbang tol Sirkuit Sentul, Jawa Barat, delapan di antaranya lahir dari tangannya. Ia
mengaku, kendati bunganya cukup besar, tetap belum bisa menyaingi besarnya bunga asal luar
negeri. “Saya nggak mikirinuntuk dipatenkan segala. Sebagai orang bisnis, yang
penting ada yang beli, ha-ha-ha …,” kata Sansan polos.
Pria penggemar masakan Thailand ini punya angan-angan, pencinta seni dijamin suka
dengan tekstur batang kamboja yang bagus plus bunganya yang warna-warni. “Rontokan
bunganya saja kalau ditaruh di meja, it’s beautiful. Apalagi kamboja kesannya very
tropical, very Indonesian.”
Rp 5 juta satu pohon
Upayanya mengangkat tanaman baru sampai dicari orang memang pantas diacungi jempol.
Ketika didesak resep keberhasilannya, ia cuma menjawab singkat. “Mata mesti jago,
jeli, dan tahu pasar,” katanya tanpa menjabarkannya lebih jauh. Tapi agaknya
kemampuan membaca pasar tanaman hias tumbuh sejalan dengan endapan pengalaman menggeluti
bisnis ini sejak 15 tahun lalu. Pada masa-masa awal membuka kebunnya ia betul-betul
berjuang dari bawah. Koleksi tanaman ataupun luas lahan baru bertambah seiring dengan
perkembangan keuntungan bisnisnya. “Makanya kebun saya bentuknya tak karuan. Jika ada
duit lebih, baru beli tanah. Begitu seterusnya,” ungkapnya.
Anggrek memang menjadi komoditas pertama yang ia geluti. Tapi kemudian ia merambah
jenis tanaman hias lain setelah melihat tanaman hias asal luar negeri bagus-bagus. Mungkin
kalau dibudidayakan tidak kalah dengan anggrek, begitu pikirnya.
Benar saja, dari jerih payahnya akhirnya lahir berbagai jenis tanaman yang menandai
perjalanan sebuah trend tanaman hias di Indonesia. Secara ekonomi, ia pun menerima
berkah. Omzetnya meningkat, terangkat harga jual yang relatif tinggi. “Ketika
jenis-jenis anturium marak, satu pohon bisa laku jutaan rupiah. Bahkan, saya pernah
jual pohon yang kecil seharga Rp 5 juta. Soalnya, semua orang pasti ingin punya pada saat
sedang in, berapa pun harganya,” kata pria yang semasa kecil bercita-cita
menjadi zoo keeper ini. Tak aneh kalau sekarang ia mengoleksi berbagai jenis satwa,
dari anjing, burung, ayam, hingga kambing.
Mode tanaman yang sedang “in” agaknya juga didorong oleh sifat orang
yang tak mau ketinggalan zaman, pun dalam hal memiliki tanaman hias. “Padahal bagus
tidaknya sebuah taman tidak tergantung pada trend, tapi penempatan yang cocok dan
perawatan yang baik,” ujar Sansan.
![]() |
Kebun tropis |
Munculnya tren tanaman paling tidak telah ikut andil dalam menggiring nurani
orang untuk mencintai tanaman, khususnya di kota-kota besar. Cuma, konsekuensinya setiap
kali orang menunggu jenis tanaman apa lagi yang akan keluar. Ini berbeda dengan yang
terjadi di luar negeri. Di sana trend tanaman berotasi, mengikuti pergantian musim.
Ketika musim tulip, semua piara tulip. Kalau musim mawar, semuanya berganti mawar.
Menurut Sansan, mestinya trend tanaman di Indonesia berpola semacam itu. Sebab
kalau tidak, sangat mustahil “menciptakan” jenis tanaman baru yang berbunga
terus-menerus. Namun yang pasti, booming tanaman hias membuat orang semakin ngeh
tentang dunia lanskap. Setidaknya muncul kesadaran bahwa rumah perlu “baju”
bagus.
Cuma Sansan mengingatkan, semewah apa pun sebuah taman, diperlukan kesadaran si empunya
rumah untuk memelihara. Kalau sisi ini diabaikan, keberadaan taman bisa jadi hangat-hangat
tahi ayam. Tak akan langgeng. “Karyawan saya mungkin bisa merawat seminggu sekali.
Tapi kalau yang punya nggak pernah keluar untuk melihat, taman nggak bakalan jadi bagus.
Bagaimanapun taman melambangkan yang punya rumah,” tandasnya. Mencabuti rumput,
merapikan daun, atau menyingkirkan ranting yang kering, memupuk, dan sebagainya menjadi
bagian penting dari pemeliharaan taman.
Taman kecil dilayani
Dalam soal jumlah dan jenis tanaman, kebun Widjaja milik Sansan seluas 7 ha di
kawasan Sentul, boleh jadi mempunyai koleksi tanaman hias paling lengkap di Jakarta.
Sampai ia tak ingat berapa banyak jenis tanaman hias di kebunnya. Mulai dari
berjenis-jenis anggrek, palem, tanaman air, sampai flamboyan kuning. Kalau Anda pemerhati
tanaman, waktu sehari bakal tidak cukup untuk mengagumi seluruh koleksinya.
Dari kebun satu-satunya ini, Sansan memasok seribu satu jenis tanaman ke para
pelanggannya. Mereka umumnya konsumen langsung, arsitek lanskap, atau pedagang besar.
Pangsa pasar terbesarnya terkonsentrasi di Jakarta dan Surabaya. Kamboja hasil persilangan
juga mulai dicari orang, termasuk pemburu tanaman yang mencari jenis-jenis baru. Mereka
mulai bisa menerima jenis-jenis kamboja tanpa mengidentikkan dengan tanaman kuburan.
Barangkali mereka tahu, kamboja Sansan diimpor dari luar negeri. “Harganya Rp 150
ribu per pot. Ini sudah murah, di Hawaii US $ 50 per potong sepanjang 30 cm,”
katanya.
Dari dagang tanaman Sansan merambah lahan bisnis lain yang masih berdekatan dengan
urusan tanaman, yaitu sebagai penata taman. Dalam soal yang satu ini pun namanya tak
kurang kondang, meski kepiawaiannya menata taman “cuma” diperoleh dari beberapa
kali mengikuti kursus pertamanan di luar negeri. Taman Bunga Nusantara di Cipanas, Jawa
Barat, dan taman di sebuah hotel mewah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, adalah contoh
hasil rancangannya.
![]() |
Koleksi anggrek di kebunnya, disemprot antihama (atas). Kamboja hasil persilangan (bawah). (Foto-foto: Ibas) |
Profesi itulah rupanya yang ikut memudahkan Sansan menciptakan trend baru
suatu tanaman hias. Setiap kali merancang taman Sansan tak lupa menyertakan tanaman yang
hendak dia orbitkan. Karena penataannya memang pas dengan tanaman hias itu, orang pun
tertarik justru pada tanamannya. Wajar kalau kemudian kliennya yang hendak membuat taman
memintanya untuk menyertakan tanaman “pendatang baru”. Dari sinilah trend
bergulir.
Celakanya, meski bisa memberinya kepuasan dan kebanggaan tersendiri, terbentuknya trend
terkadang malah menjadi bumerang, karena tak menguntungkan secara komersial.
“Soalnya, pohonnya sudah saya jual ke petani-petani. Misalnya, saya punya jenis
tanaman baru. Anda punya kebun dan minta dibagi. Ya, saya bagi. Anda beli Rp 100.000,-.
Lalu Anda membagi lagi untuk teman Anda. Begitu seterusnya. Jadi akhirnya lebih banyak
yang di petani. Di kebun saya cuma ada parent stock-nya.”
Sebagai penata taman profesional, Sansan juga tak menolak job sekecil apa pun.
“Saya pernah bikin taman seukuran 50 cm x 8 m atau seluas 4 m2. Justru
saya lebih tertantang, menata luasan kecil dengan hasil baik jauh lebih susah,”
katanya.
Konsep taman yang ia kedepankan memang membuat rumah tampak lebih luas dan asri. Itulah
sebabnya ia memperkenalkan apa yang disebut dengan clean tropical garden. Perpaduan
bermacam pohon namun terkesan tidak semrawut. Dengan konsep itu ia menjamin taman gampang
dirawat dan tak memerlukan banyak pemangkasan.
Konsep itu jelas berbeda dengan taman gaya Jepang, di mana nilai seninya ada dalam
pembentukan pohon itu. Cuma untuk ke sana perlu belajar tahunan. “Kalaupun ada yang
bisa bikin, saya nggak yakin mereka bisa merawat. Bayangkan, taman pasir yang ada di kuil
pasirnya harus digaruk terus-terusan. Mereka bisa lantaran iklimnya mendukung, lha
kita hujannya besar dan lebat, apa mungkin?” ujar Sansan.
Yang jelas, kendati umumnya pasrah di tangan Sansan, selera klien dalam soal menata
taman tetap diutamakan. Menurut pengalamannya, tak jarang ada klien yang bawel dan resek;
tamannya kecil, tapi banyak maunya. Ada juga klien yang ingin dibuatkan tujuh bukit di
tamannya, konon sesuai hitung-hitungan hongsui. “Ketika bukit baru dibuat, ia
mengeluh bukitnya kurang miring. Begitu dimiringkan, ia maunya lebih tegak,” ungkap
Sansan. Sebatas masih menyangkut aturan-aturan dasar, masih ia toleransi. Misalnya, tidak
menanam pohon besar di muka pintu; secara estetika pun tak sedap dipandang. Atau
menghindari bugenfil sesuai dengan kepercayaan tertentu orang Jawa.
Toh sebagai seorang profesional di bidang lanskap, Sansan tahu apa yang disukai
pelanggan. Hampir tak ada permintaan klien yang tak bisa dipenuhi. Koleksi tanaman hiasnya
sudah lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan akan berbagai jenis taman. Asam dan garam
menata taman pun sudah dia reguk cukup lama. Ini memudahkan dia untuk mengakomodasikan
setiap permintaan klien. Anak ketiga dari lima bersaudara, yang semula tidak disetujui
orang tuanya berbisnis tanaman, ini pun menjadi besar. (G. Sujayanto/I Gede Agung
Yudana)