Pertumbuhan jumlah penduduk dan arus urbanisasi yang sulit dikendalikan menjadikan alih fungsi lahan pertanian di kawasan perkotaan menjadi lahan industri, komersil, maupun pemukiman terus meningkat. Semakin berkurangnya lahan pertanian menyebabkan kawasan perkotaan terancam mengalami ketahanan pangan. Kondisi ini mendorong pemerintah dan masyarakat di kawasan perkotaan mencoba untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri serta memperbaiki kondisi lingkungan agar tercipta lingkungan yang sehat dan berkualitas.
Salah satu fenomena yang saat ini sedang naik daun di kalangan masyarakat adalah pertanian perkotaan dengan memanfaatkan keterbatasan lahan. Pertanian perkotaan merupakan salah satu kunci pembangunan sistem pangan masyarakat kota yang berkelanjutan. Jika dirancang secara tepat, hal ini dapat mengatasi masalah kerawanan pangan. Selain itu, pertanian perkotaan tidak hanya pada bidang tanaman hortikultura. Namun, dapat diintegrasikan dengan budidaya ikan air tawar, peternakan ataupun bidang-bidang lain melalui pemanfaatan pekarangan, lahan-lahan kosong guna menambah gizi, meningkatkan ekonomi, dan kesejahteraan keluarga.
Pertanian perkotaan inilah yang mulai dikembangkan oleh masyarakat di Kampung Markisa Blunyahrejo, Karangwaru, Tegalrejo, Yogyakarta. Berdiri di lahan seluas ±4.500 m², Kampung Markisa Blunyahrejo menjadikan pertanian perkotaan dan budidaya lele cendol sebagai jati dirinya. Kampung Markisa mengembangkan pertanian perkotaan tidak hanya berupa tanaman sayur seperti sawi (jenis dakota, caisim, pakcoy); kenikir, kangkung, bayam, dan jagung, tetapi juga tanaman buah dan empon-empon. Selain itu, Kampung Markisa melakukan pengolahan sampah organik yang diolah menjadi pakan lele di kolam budidaya lele cendol yang ada di sana.
“Sejak bulan Februari kami sudah mempersiapkan lahan kosong ini agar bisa ditanami, kami mendapatkan bantuan benih sayuran dan bahan tanam, dan sekarang kami bisa panen perdana” ujar drh. Pratita selaku Ketua Rukun Kampung Blunyahrejo. Kegiatan panen raya perdana tersebut dilaksanakan pada Selasa (4/8) bertempat di tepi Sungai Buntung yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian produktif sekaligus menjadi simbolisme terbentuknya Sistem Pertanian Perkotaan Terintegrasi Berwawasan Lingkungan. “Harapannya bisa menjadi pertanian yang besar dan mandiri sehingga bermanfaat bagi masyarakat sekitar,” ungkapnya saat memberikan sambutan.
Dalam hal ini PIAT UGM yang memiliki misi mengimplementasikan teknologi inovatif yang bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah, swasta dan akademisi, turut mendukung terbentuknya sistem pertanian perkotaan terintegrasi di Yogyakarta. “Kampung Markisa Blunyahrejo menjadi pilot project bagi PIAT untuk program bank sayur. Kami memberikan pendampingan mulai dari masa tanam, panen, hingga pemasaran lanjutan bagi sayuran yang dihasilkan oleh masyarakat sekitar”, ungkap Koordinator Lapangan Bidang Pertanian, Rahmi Sri Sayekti S.P., M.Sc. Kerjasama ini ditandai dengan memberikan dan menyalurkan bantuan benih sayuran serta media tanam di bulan Juni yang lalu.
Apresiasi atas pencapaian ini juga disampaikan oleh Drs. Heroe Poerwadi, MA selaku Wakil Walikota Yogyakarta. Didampingi beberapa pejabat terkait, beliau turut memanen hasil tanaman seperti sawi, jagung, kangkung, terong. “Pertama, akan segera dibuat Master Plan bagaimana Blunyahrejo bisa menjadi satu Kawasan yang terintegrasi, mulai dari pertanian, peternakan, ekonomi, edukasi, serta kesenian dan kebudayaan. Harapannya model ini bisa direplikasi di seluruh kota Yogyakarta sehingga Jogja bisa mandiri sayur. Kedua, membuat model paket wisata ‘Jajah Kampung’ yang rencananya akan bekerjasama dengan hotel-hotel yang ada di sekitaran Yogyakarta agar wisatawan bisa masuk ke kampung-kampung yang ada di kota Jogja”, ungkapnya. Diakhir acara, Drs. Heroe Poerwadi, MA berpesan kepada masyarakat untuk tetap tekun dan serius menjadikan lingkungan perkotaan untuk mewujudkan ketahanan pangan, terlebih dalam keadaan wabah seperti ini.