Perguruan tinggi Indonesia masih memiliki kualitas dan rangking yang relatif rendah di tingkat Asia Pasifik maupun dunia. Berita menyejuknya berasal dari hasil survey Majalah terkemuka Inggris “TIMES” tahun 2005, yang menyebutkan bahwa UGM termasuk dalam rangking 56 Perguruan tinggi top bidang Arts and Humanities pada saat ulang tahunnya yang ke-56 dan merupakan satu-satunya PT di Indonesia yang masuk daftar tersebut. Menurut ”webometric” 2006 ini, dari 3000 rangking web universitas terbaik di dunia, ITB masuk urutan ke 707 dan UGM masuk urutan ke 1462. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa kualitas perguruan tinggi untuk mendukung daya saing bangsa nampaknya harus selalu ditingkatkan agar sejajar dengan PT kelas dunia.
Pada masa globalisasi saat ini jumlah mahasiswa yang tercatat di 2600 PT di Indonesia adalah sebanyak 4 juta orang dan cenderung terus menurun akhir-akhir ini. Bahkan beberapa PT sudah kekurangan peminat dan mahasiswa. Tingkat keketatan masuk PT sekarang semakin mengendor, bahkan pendaftar di beberapa PTS jauh lebih sedikit dari kapasitas daya tampung dan break even point. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah pendaftar dan mahasiswa baru di DIY dan Indonesia menurun hingga 30% dibanding tahun sebelumnya. Pakar pendidikan dari UNY menyebutkan bahwa dalam waktu dekat, sekitar 70% PT akan mengalami kebangkrutan atau gulung tikar. Di lain pihak, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri dan PT yang beralifiasi dengan negara asing justru semakin meningkat. Akhir-akhir ini, iklan PT luar negeri yang menonjolkan keunggulan spesifik dan kompetitif makin gencar dan atraktif kita lihat di media massa. Apabila ratifikasi GATS (General Agreement on Trade and Services) dilakukan maka akan semakin banyak PT asing yang akan menyerbu Indonesia, sementara itu banyak PT di Indonesia justru semakin banyak berguguran. Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk memenangkan tingkat kompetisi yang semakin tinggi tersebut, yang tentunya membutuhkan dana yang cukup besar. Namun demikian, kendala dana tidak bisa dibebankan kepada mahasiswa yang telah merasakan semakin mahalnya biaya pendidikan di Indonesia ini, sehingga perlu dicarikan skema baru sumber dana pengembangan PT.
Penerapan paradigma baru PT yang tertuang dalam Higher Education Long Term Strategy (HELTS/Kerangka Pembangunan Perguruan Tinggi Jangka Panjang III) 2003-2010 menuntut adanya peningkatan L-RAISE (leadership/ kepemimpinan, relevancy/ relevansi, academic atmosphere/ atmosfer akademik, internal management/ manajemen internal, sustainability/ keberlanjutan, efficiency & productivity/ efisiensi & produktivitas). Untuk itu, sejak tahun 1994 Ditjen Dikti melakukan pengalokasian dana untuk PT, baik Negeri (PTN) maupun Swasta (PTS) dengan menggunakan metoda kompetisi dalam bentuk blok (block grant) berbasis kinerja. Program pengalokasian dana hibah dengan kompetisi ini disebut sebagai Program Hibah Berdasarkan Kompetisi (Competitive Based Funding/CBF). Diharapkan, skema ini mampu menggali keunggulan dan kearifan lokal untuk memperkaya wawasan global, sehingga budaya peningkatan kualitas untuk memenangkan kompetisi dapat menjadi budaya pendidikan kita. Dengan demikian PT bisa maju bersama tanpa memundurkan yang lain, tinggi tanpa merendahkan, besar tanpa mengecilkan dan baik tanpa menjelekkan orang lain.
Kebijakan penggunaan dana Ditjen Dikti nampaknya mengarah pada peningkatan porsi dana kompetitif dan pengurangan alokasi dana langsung. Bahkan alokasi dana kompetitif ini diharapkan bisa mencapai 80% dari total dana pendidikan, terutama dengan adanya rencana peningkatan anggaran pendidikan dalam APBN yang diharapkan minimal menjadi 20% dalam waktu dekat ini. Peningkatan anggaran pendidikan barangkali akan menjadi tanpa dampak nyata dan nyaris sia-sia belaka apabila tidak disiapkan perbaikan proses, sistem dan budaya pendidikan yang jitu. Dengan demikian, PT yang tidak bisa mempunyai kemampuan untuk menggaet dana kompetitif, maka relatif tidak akan mendapatkan dana yang cukup dari pemerintah untuk pengembangan institusi yang bersangkutan. Bagaimanapun, skema itu diharapkan tetap harus dirasakan adil, yaitu memberi kesempatan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat untuk memperebutkan dana hibah sesuai kualitasnya. Dengan demikian, adil bukan berarti sama rasa dan sama rata, tetapi tergantung pada usaha, kerja dan karyanya. Agar tidak terdapat kesan adanya persaingan super bebas yang mengarah pada tergilasnya yang lemah oleh yang kuat, maka skema kompetisi dibuat berjenjang sesuai dengan kualitas institusi dengan adanya persyaratan akreditasi Program Studi pada masing-masing jenjang skema dana hibah kompetisi. Dengan demikian, seluruh PT di Indonesia bisa maju bersama sesuai dengan base line mereka masing-masing.
Program hibah berbasis kompetisi yang pernah dan sedang dalam proses penyelesaian adalah: Proyek URGE, Proyek DUE (Development of Under-graduate Education), Proyek QUE (Quality of Under-graduate Education), Program SemiQUE, Program DUE-like, TPSDP (Technological And Professional Skills Development Sector Project), Program SP4 (Sistem Prencanaan, Penyusunan Program dan Penganggaran).
Program Hibah Berdasarkan Kompetisi yang sedang dikembangkan di lingkungan Ditjen Dikti dan bulan ini sedang ditunggu proposalnya adalah : Program Hibah Kompetisi (PHK) dan Program I-MHERE (Indonesian Managing Higher Education for Relevancy and Efficiency). Program PHK terdiri atas PHK-A1 dengan dana hibah Rp. 250 juta/th/jurusan selama 2 tahun untuk pengembangan kapasitas institusional, PHK-A2 dengan dana Rp.500juta/th/jurusan selama 3 tahun untuk perbaikan efisiensi internal, PHK-A3 dengan dana Rp. 800juta/th/jurusan selama 3 tahun, untuk pengembangan efisiensi eksternal dan PHK-B dengan dana Rp. 1,5 milyar/th/jurusan selama 3 tahun untuk mencapai unggulan internasional. Sementara itu, program I-MHERE didanai Bank Dunia (World Bank) akan dimulai tahun 2006 ini dengan dana hibah sekitar US$1,5 juta/unit (setara Rp. 13,5 milyar). Program-program berbasis dana kompetisi nampaknya akan terus dikembangkan untuk pengembangan yang lain.
Dana block grant tersebut bukanlah sekedar sejenis bantuan langsung tunai (BLT), bantuan operasional siswa (BOS) atau dibagi merata untuk seluruh PT yang kurang mampu, namun justru diperuntukan untuk Jurusan atau lembaga pendidikan yang paling siap mengusulkan proposal pengembangkan diri secara benar. Proposal pengembangan institusi harus didasarkan pada outcomes based activity (aktivitas berbasis keluaran & kinerja), dan bukannya investment based activity (aktivitas berbasis investasi) agar terdapat. peningkatan L-RAISE. Untuk itu perlu dibuat mekanisme dan rancangan kegiatan yang SMART (Specific/spesifik, Measurable/terukur, Achievable/dapat dicapai, Relevance/relevan and Timely/proses waktu) agar capaian tujuan akademik dapat diperoleh secara jitu.
Paradigma baru PT menuntut perubahan mind-set (pola pikir) agar pola proyek dihilangkan tetapi berganti dengan pola program pengembangan yang terintegrasi dengan kegiatan institusi untuk mencapai visi, misi dan tujuannya. Setiap program disusun untuk mencapai tujuan, meskipun dalam mekanisme rancangan pelaksanaan yang diusulkan secara terstruktur membutuhkan investasi. Namun demikian investasi tersebut bukan menjadi tujuan utama, tetapi hanya merupakan alat dan sarana untuk memperlancar dalam mencapai tujuan program institusi. Dengan demikian pengadaan alat investasi tersebut telah dibuatkan program pemberdayaan yang terstruktur. Investasi berupa pengadaan alat, pengembangan staf, pelatihan, pengadaan buku dsb hanyalah satu konsekuensi kecil yang harus dibelanjakan untuk memberdayakan sumber daya yang tersedia dan akan disediakan agar tercapai tujuan program tersebut. Oleh karena itu, dana hibah ini juga menyediakan konsekuensi yang cukup untuk pengadaan kebutuhan investasi agar pencapaian tujuan program dapat lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, perubahan usulan kegiatan dari berbasis investasi menjadi berbasis kinerja ini bukan sekedar permainan kata-kata belaka tetapi merupakan perubahan pola pikir secara terstruktur.
Pemberian dana hibah pengembangan PT lewat kompetisi berbasis kinerja tersebut diharapkan bukan hanya sekedar memberi ikan ataupun pancing sekalipun, tetapi bahkan pemberdayaan agar bisa mendapatkan ikan, membuat kolam, pancing, memelihara dan mengelolanya sendiri. Penerima hibah juga diharapkan mampu mendeteksi penyakitnya sendiri dan mempunyai kemampuan untuk mengobati sendiri secara mandiri dengan langkah-langkah strategis yang terstruktur dan terintegrasi yang dituangkan dalam proposal untuk mendapatkan dana hibah ini. Atau penerima hibah bisa dilatih agar mampu mendeteksi diri kerusakan mesin dan sistemnya sehingga juga mempunyai kemampuan untuk menservis atau memperbaiki diri dengan jitu. Dengan demikian institusi tersebut bisa mempunyai kualitas yang selalu meningkat dan mempunyai daya saing yang tinggi. Banyak pro-kontra terhadap skema kompetisi yang dijalankan Ditjen Dikti ini, namun nampaknya Menkeu Sri Mulyani yang telah banyak meneliti skema block grant ini akan ikut mendukung langkah Dikti sebagai pilot project yang akan diberlakukan untuk instansi yang lain. Untuk itu, kita semua harus bersiap diri untuk mempunyai kemampuan untuk melakukan evaluasi dan pengembangan diri sejak dini, sebelum tergilas era kompetisi global yang bergulir nyaris tak terbentung lagi.
Informasi Penulis:
Dr. Ir. Cahyono Agus, M.Sc.
– Dosen Fakultas Kehutanan UGM Jogjakarta
– Reviewer Ditjen Dikti Bidang Program Dana Hibah Berbasis Kompetisi
– Reviewer Ditjen Dikti Bidang Akreditasi Jurnal Ilmiah
– HP: 081 5688 8041
– Email: acahyono@ugm.ac.id; acahyono@ugm.ac.id