Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT) UGM kembali menerima kunjungan pada Senin (9/3). Kunjungan tersebut berasal dari perwakilan Yayasan Globalisasi Saemaul Indonesia (YGSI) Chapter Subang. Yayasan ini merupakan organisasi nirlaba yang berkantor di Fakultas Filsafat UGM dengan berorientasi pada upaya pemberdayaan masyarakat. Yayasan ini bergerak dengan mendapatkan bantuan dana dari Saemaul Globalization Foundation, Korea Selatan.
Kunjungan pagi itu dilakukan dengan langsung mendatangi dan mempelajari tentang budidaya maggot dan pengolahan sampah di Rumah Inovasi Daur Ulang (Rindu). Belakangan, maggot yang merupakan larva jenis belatung dari lalat Black Soldier Fly (BSF) menjadi primadona baru. Hal tersebut bermula dari penemuan penelitian yang mengungkap bahwa maggot memiliki sumber protein yang tinggi sehingga pamornya naik daun di kalangan pembudidaya maupun di kalangan masyarakat. Hal ini rupaya juga menjadi salah satu latar belakang YGSI melakukan kunjungan.
“Itu mendukung desa binaan kami di Subang mengganti tepung ikan yang tinggi protein. Kami ingin wacanakan untuk menggunakan tepung maggot. Meskipun sama-sama tinggi protein namun pengadaannya lebih memungkinkan menggunakan tepung dan lebih mudah digunakan di desa,” tutur Pradita Nurmaya Kusuma selaku Ketua YGSI. Pradita menjelaskan lebih lanjut bahwa penggunaan pelet berbahan dasar maggot memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan pelet berbahan dasar tepung ikan. Jika pelet berbahan dasar tepung ikan dijual dengan kisaran harga Rp 9.000/kg, maka pelet dengan bahan dasar tepung maggot hanya dijual Rp 6.500/kg dengan selisih harga mencapai Rp 2.500/kg.
Kegiatan tersebut didampingi dan diarahkan oleh Pipit Noviyani selaku Koordinator Lapangan (Korlap) Subbidang Energi dan Pengelolaan Limbah beserta Arif Mujaab selaku tim pengolahan limbah yang menjelaskan secara rinci bagaimana tahapan pelaksanaan dalam pengembangbiakkan maggot. Dalam hal ini, Arif mengungkapkan adanya kendala yang saat ini sedang dihadapi. “Kami telah berhasil menangkap dua ekor tikus yang dicurigai mengurangi populasi baby maggot. Kami sedang mengajukan pengadaan tambahan alat agar tempat pengembangan maggot ini dapat dibuat lebih tertutup agar maggot dapat melakukan regenerasi secara berkelanjutan,” ungkapnya.
Kegiatan berikutnya dilanjutkan dengan mengunjungi tempat pengolahan sampah berupa pencacahan sampah plastik dan melihat proses pembuatan pupuk organik sampah dedaunan hasil sapuan dari kampus UGM. Hasil dari olahan sampah organik tersebut menghasilkan pupuk yang dikemas dalam kantung berukuran lima kilogram. Kegiatan penutup pada hari tersebut diakhiri dengan diskusi ringan di kantor pusat PIAT. “Kita akan mematangkan konsep karena kita memiliki rencana program Tempat Pengelolaan Sampah (TPS). Kebetulan di Subang juga belum ada TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) padahal banyak sampah organic maupun anorganik yang harus di-handle juga,” jelas Pradita.