Pertemuan Rutin Asosiasi Tempat Pengolahan Sampah Reduse-Reuse-Recycle (TPS3R) Resep Kabupaten Sleman telah terselenggara pada Jumat (23/12), di Kantor Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT) UGM Lantai 2. Sekitar 30 peserta hadir dalam kegiatan ini yakni anggota asosiasi TPS3R Resep, dosen dan mahasiswa Teknik Sipil UGM, serta perwakilan DLHK Provinsi DIY dan DLH Kabupaten Sleman.
Ketua Asosiasi TPS3R Resep, Budi Isro’i menjelaskan kondisi tempat pengolahan sampah di Kabupaten Sleman yang mana terdapat sekitar 33 TPS3R termasuk yang ada di PIAT UGM yaitu Rumah Inovasi Daur Ulang (RINDU). Hampir semua tempat pengolahan sampah tersebut secara umum dikelola secara mandiri, bahkan intervensi pemerintah baru dalam tahap sarana dan prasarana alat transportasi, sementara untuk kegiatan operasional masih sangat mandiri.
Melihat produksi sampah yang semakin tinggi pasca-covid dan kondisi TPA Piyungan yang sudah penuh, Budi Isro’i berharap UGM dapat hadir untuk mengoptimalisasi penyelesaian masalah persampahan ini. Perlu diketahui, volume sampah di DIY saat ini hampir menyentuh 900 ton per hari. Sebelumnya, TPS3R Resep juga sudah berkolaborasi dengan PIAT UGM melalui beberapa kegiatan.
“Akhir-akhir ini yang menjadi problem luar biasa bagi kami itu karena zona A sudah penuh, zona B sudah tidak boleh lagi, dan zona transisi sudah mau penuh, hampir 900 ton satu hari bagaimana mungkin tidak,” ucap Budi Isro’i.
Menanggapi hal tersebut, dosen Teknik Sipil UGM Ni Nyoman Nepi Marleni, menjelaskan pihaknya sudah mulai menindaklanjutinya dengan melakukan aksi men-zero-kan organic waste atau limbah organik di lingkungan kita dengan berbagai cara. Pihaknya juga sangat terbuka untuk bisa bekerjasama menyelesaikan permasalahan sampah terutama di Kabupaten Sleman yang menjadi lingkungan UGM.
“Kami sudah bersepakat dengan Bappeda bahwa kami (UGM) ingin membantu baik melalui program penelitian maupun program pengabdian kepada masyarakat dengan tujuan optimalisasi TPS3R, dan tentu saja tujuan akhirnya yang pertama ingin menggalakkan pengurangan sampahnya dulu,” tutur Marneli.
Lebih lanjut, mahasiswa Teknik Sipil UGM yang hadir juga sedang melakukan penelitian untuk dapat mengidentifikasi daerah rawan sampah. Penelitian itu diupayakan agar action yang dilakukan bukan bersifat kuratif atau menunggu masalah muncul untuk penanganannya, melainkan lebih kepada preventif yaitu pencegahan daerah rawan sampah supaya tidak terjadi kejadian-kejadian yang kemudian menimbulkan penyakit ataupun polusi udara.
Marleni menambahkan, paradigma sampah bukan lagi “kumpul, angkut, buang”, melainkan jargon circular economy di mana kita sudah harus mulai menganggap bahwa sampah itu bukan sesuatu yang harus kita buang tetapi sesuatu yang bisa kita manfaatkan.
“Jadi, sekarang paradigmanya ‘kumpul, angkut, olah, manfaatkan’, kalau ada residu oke–lah itu sesuatu yang dibuang meskipun pada kenyataannya, residu pun ternyata masih bisa kita manfaatkan,” tambahnya.
Sementara perwakilan DLHK Provinsi DIY menyampaikan bahwa sebenarnya masing-masing kabupaten/kota sudah memiliki rencana induk untuk pengelolaan sampah. Namun demikian, DLHK Provinsi tidak lepas tangan sehingga TPA Regional Piyungan yang seharusnya sudah selesai pada tahun 2012 masih dipakai hingga saat ini, karena tata ruang lokasi untuk TPA hanya ada di Piyungan. Terkait hal ini, pihaknya masih mencarikan solusi terkait pendanaan dan ketersediaan lahan untuk membangun TPA baru.