Petani merupakan profesi yang dipandang sebelah mata. Kini, saatnya petani naik kelas dengan melalui pemberdayaan, penggunaan teknologi, dan inovasi. Akan tetapi, dalam prosesnya, terdapat tantangan di antaranya adalah regenerasi petani, adaptasi teknologi, dan perubahan iklim.
Talkshow Nasional Agrifest 2024 merupakan forum yang mempertemukan pakar dan praktisi, membahas topik mengenai sektor pertanian. Acara ini diselenggarakan selama dua hari dengan dua sesi berbeda di tiap harinya. Acara ini dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, seperti akademisi, mahasiswa, siswa, petani, kelompok wanita tani, pebisnis, dan masyarakat umum. Pada Jumat (06/09), sesi kedua talkshow berjudul “Petani Naik Kelas” menghadirkan tiga narasumber, yaitu Dwi Martuti Rahayu dari Kelompok Wanita Tani Pawon Gendhis, Didi Wijanarko dari PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa dan Andhika Mahardika dari Agradaya.
Materi pertama yang dibahas adalah regenerasi petani. Menurut Andhika, kebanyakan generasi muda tidak ingin menjadi petani karena pendapatan yang rendah. Pendapatan yang rendah terkait dengan pendidikan petani dan kemampuan petani untuk membaca trend pasar. Jika suatu komoditas memiliki harga yang mahal, petani akan berbondong-bondong menanam komoditas tersebut. Akibatnya, harga komoditas jatuh dan berpengaruh terhadap pendapatan petani. Andhika menekankan pentingnya penggunaan teknologi pascapanen untuk meningkatkan nilai jual komoditas, seperti solar dome dryer yang dimiliki oleh Agradaya. Andhika juga menekankan pentingnya peran generasi muda dalam penerapan teknologi pascapanen. “Penting untuk untuk bisa meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan pascapanen, makannya anak-anak muda perlu terlibat di situ” ujar Andhika.
Salah satu cara untuk menaikkan kelas petani adalah dengan penggunaan teknologi. Didi memaparkan bahwa MSMB menciptakan alat ukur unsur hara dalam tanah bernama Jinawi. Alat tersebut digunakan untuk mengukur unsur hara dan memberikan rekomendasi penggunaan pupuk sehingga penggunaan pupuk lebih efisien. Didi menceritakan tantangan yang dihadapi ketika pertama kali memperkenalkan Jinawi kepada kelompok tani di Sukoharjo. Jinawi merekomendasikan penggunaan pupuk lebih sedikit dari jumlah pupuk yang biasa digunakan petani dan petani menunjukkan penolakan terhadap rekomendasi tersebut. Untuk mengatasi penolakan, demplot untuk menguji Jinawi dibuat sehingga petani dapat melihat dampak penggunaan alat tersebut terhadap hasil panen. Hasilnya adalah hasil panen antara demplot relatif sama dan penggunaan pupuk efisien hingga 40%. Akhirnya petani percaya dan mulai menggunakan Jinawi.
KWT Pawon Gendhis terkenal dengan inovasi produk cokelat pegagan, yaitu Cokelat Wondis. Dwi memaparkan bagaimana dirinya berinovasi Cokelat Wondis. Berawal dari kecintaannya menciptakan inovasi pangan dari lomba-lomba yang ia ikuti. Salah satu inovasi yang ia ciptakan adalah cokelat dengan campuran tanaman pegagan. Dwi menceritakan bahwa ia diejek orang gila saat menanam pegagan. Selanjutnya, Dwi ditantang oleh bupati Kulon Progo untuk memperoleh bahan baku cokelat dari kakao lokal. Dwi akhirnya memberdayakan petani kakao lokal dengan menjalin contract farming. Pada tahun 2017, merk Cokelat Wondis, yang berasal dari singkatan Pawon Gendhis, diresmikan.
Dalam mengembangkan Cokelat Wondis, Dwi menghadapi tantangan dari pengelolaan pascapanen. Pengolahan pascapanen yang buruk mengakibatkan kualitas biji kakao menurun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh banyak petani kakao yang sudah tua dan kurang memahami pengolahan pascapanen. Dalam perkembangan Cokelat Wondis, Dwi menggandeng pihak-pihak lain, seperti dinas pertanian, LSM, dan universitas yang tertarik dengan inovasinya. Selanjutnya, dari contract farming yang ia jalin, Dwi mengembangkan Kampung Kakao Menoreh. Dalam hal tersebut, Dwi melibatkan generasi muda.
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam menaikkan kelas petani adalah perubahan iklim. Menurut Andhika, iklim tidak dapat dikendalikan sedangkan yang dapat dilakukan terkait hal tersebut adalah melakukan tindakan preventif. Andhika memaparkan bahwa di NTT pernah terjadi badai yang merusak siklus panen cengkeh dan kemiri. Tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah dengan menimbun hasil panen hingga musim mendatang. Andhika juga memaparkan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak perubahan iklim adalah dengan agroforestri atau wanatani. Menurutnya, ekosistem hutan dapat berdiri sendiri. Dengan menggunakan wanatani rempah, tanaman dapat lebih kuat bertahan dari perubahan iklim.
Dwi memaparkan peran KWT dalam mencegah perubahan iklim, yaitu dengan memperbanyak menanam pohon. Dwi mengatakan bahwa KWT mendorong anggotanya untuk menanam pohon. Hal tersebut dimulai dari ketuanya yang memberi contoh. Selain itu, KWT juga berperan dalam pelestarian pegagan, pelestarian kakao, dan menggiatkan makan sayur.
Adanya sesi talkshow ini diharapkan dapat mendukung tercapainya tujuan SDG 1: Tanpa Kemiskinan, SDG 5: Kesetaraan Gender, dan SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim.