Pendidikan dasar menjadi pondasi penting untuk mempersiapkan Pendidikan yang lebih lanjut. Pendidikan dasar memungkinkan anak-anak untuk memperoleh dasar pengetahuan yang kuat, kemampuan berpikir kritis, keterampilan sosial, penanaman nilai dan etika, pemahaman tentang kebudayaan dan nilai masyarakat, penumbuhan minat dan bakat, persiapan untuk Pendidikan lanjutan, serta memegang peranan penting untuk pemberdayaan anak agar lebih percaya diri dan siap menghadapi tantangan. Oleh karena itu penting untuk memberikan Pendidikan dasar yang berkualitas seperti yang ingin dicapai oleh SDGs 2: Quality Education. Sejalan dengan fungsi-fungsi tersebut, SDIT Khalid Bin Walid mengajak 150 siswanya untuk melihat dan mempraktikkan langsung proses pengolahan sampah organik dan budidaya tanaman di PIAT UGM pada 9 Oktober 2024.
Permasalahan pengelolaan sampah di Yogyakarta yang masih berlangsung dalam beberapa tahun terakhir menjadi alasan pentingnya memberikan edukasi pengelolaan sampah sejak Pendidikan usia dini dan Pendidikan dasar. Dengan mempraktikkan secara langsung pemilahan sampah di lingkungan sekolah hingga mengajarkan proses pengolahannya, diharapkan siswa dapat meneruskan informasi dan pengalaman yang diperoleh kepada orang tua dan keluarga. Sampah organik merupakan sampah yang paling banyak dihasilkan di Indonesia dengan nilai lebih dari 50%. Jika tidak tertangani dengan baik, sampah organik akan menimbulkan masalah sanitasi seperti bau tidak enak dan mengundang lalat karena mudah membusuk. Sampah organik ini perlu menjadi prioritas penanganan karena jika bisa menyelesaikan sampah organik mulai dari sumber maka berarti 50% permasalahan sampah telah terselesaikan. Sesuai dengan prioritas tersebut, siswa diajak untuk mempraktikkan secara langsung proses pengomposan sebagai cara paling mudah untuk mengolah sampah organik.
Proses pengomposan dimulai dengan menyiapkan alat dan bahan pengomposan. Alat yang dipersiapkan meliputi compost bag untuk wadah pengomposan, garu atau sekop kecil untuk mengaduk kompos, serta sprayer atau gembor untuk menyiramkan larutan decomposer. Bahan yang disiapkan antara lain daun kering, daun hijau, air, tetes tebu, dan starter pengomposan. Pertama siswa menyiapkan larutan decomposer dalam ember dengan mencampur 1 bagian starter pengomposan, 1 bagian tetes tebu, dan 50 bagian air ke dalam ember lalu diaduk merata. Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sprayer. Setelahnya, siswa secara berurutan memasukkan 2 bagian daun kering dan 1 bagian daun hijau ke dalam compost bag sambil disemprot dengan larutan decomposer dan diaduk hingga merata. Proses pengomposan berlangsung kurang lebih 2 bulan. Dalam rentang waktu tersebut perlu dilakukan pengadukan dan penyiraman secara berkala.
Kompos dapat dipanen ketika sudah matang ditandai dengan warna kehitaman, berbau seperti tanah, dan mudah hancur. Siswa juga ditunjukkan dengan kompos matang yang selanjutnya akan digunakan untuk menanam cabai. Sebelum menanam cabai, siswa menyiapkan media tanam yang terbuat dari campuran tanah, arang sekam, dan kompos dengan perbandingan 2:1:1. Media tanam tersebut dimasukkan ke dalam polybag dan digunakan untuk menanam cabai. Tanaman cabai ini selanjutnya dapat dibawa pulang oleh siswa untuk dirawat secara mandiri.
Melalui praktik langsung seperti ini, diharapkan dapat terbangun kesadaran siswa untuk mulai mengolah sampah organik yang dihasilkan di lingkungan sekitar. Kompos yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik tersebut kemudian digunakan untuk menanam sayur secara organik yang lebih sehat untuk dikonsumsi. Praktik ini merupakan bagian dari pertanian sirkuler sehingga bahan yang semula adalah sampah dapat menjadi sumber daya untuk proses berikutnya. Pengolahan sampah organik juga merupakan bagian pencegahan perubahan iklim sesuai dengan SDGs 13: Climate Action. Dengan mengolah sampah organik maka dapat mengurangi emisi gas metana sebagai salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global.