Persoalan sampah masker dan sarung tangan plastik kian menjadi sorotan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Pandemi Covid-19 membuat masker dan sarung tangan menjadi sebuah dilema, di satu sisi membantu warga dunia terhindar dari virus, di sisi lain berbahaya bagi lingkungan. Bila sebelumnya rumah sakit menjadi penyumbang sampah medis terbesar, saat ini masker dan sarung tangan seolah menjadi bagian dari sampah yang dihasilkan masyarakat sehari-hari. Data yang dihimpun BBC secara global, penduduk dunia memakai 129 milyar masker dan 65 milyar sarung tangan plastik sekali pakai setiap bulannya selama pandemi ini. Pandemi Covid-19 membuat sampah masker dan sarung tangan menjadi gelombang baru setelah polusi plastik.
Limbah medis yang tidak dibuang sesuai aturan kerap berakhir di daratan maupun perairan sehingga membahayakan fauna maupun ekosistem yang ada. Sepanjang tahun 2020, sudah didapatkan banyak bukti di lapangan bila masker bekas mampu menjerat hewan – hewan seperti burung dan penyu yang berujung pada kematian. Dibutuhkan pengelolaan limbah yang tepat untuk mencegah penyebaran penyakit, meminimalkan dampak lingkungan, dan memanfaatkan potensi keuntungannya untuk pemanfaatan lebih lanjut.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Universitas Gadjah Mada (UGM) berkolaborasi dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Sebelas Maret, membuat program berupa sistem pengelolaan limbah medis masker sekali pakai dan sarung tangan plastik untuk meminimalisasi dampak limbah tersebut ke lingkungan, bernama Dumask. Dumask merupakan akronim dari Dropbox-Used Mask. Dumask bertujuan khusus untuk menyediakan jalur pembuangan masker dan sarung tangan bekas dari masyarakat umum yang aman dan ramah lingkungan.
Proyek Dumask didanai oleh Program Penelitian Kolaborasi Indonesia (PPKI), yang dimulai sejak Februari 2021 hingga Oktober yang akan datang. Proyek ini dimulai dengan pengumpulan limbah masker dan sarung tangan menggunakan boks, serta pembuatan aplikasi untuk memantau dropbox dan alat pembakarnya. Dropbox diletakkan di beberapa lokasi, jika boks sudah penuh sampah akan memberikan notifikasi di aplikasi dan juga website. Selanjutnya petugas akan mengambil boks tersebut. Sampah medis tersebut akan dihancurkan dengan pemanasan bersuhu tinggi atau yang lebih dikenal dengan metode pirolisis.
“Kebetulan UGM memiliki fasilitas Rumah Inovasi Daur Ulang (RINDU) yang berada di Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT). RINDU menjadi pusat pengolahan dan pengembangan teknologi sampah dan limbah dan memiliki peralatan pemusnahan limbah teknologi termal yang memadai”, Ujar Chandra Wahyu Purnomo selaku peneliti utama dalam proyek Dumask.
Reaktor pirolisis ini nantinya akan dikembangkan di universitas mitra lainnya. Program ini juga didukung oleh Universitas Airlangga, Universitas Ahmad Dahlan, Politeknik ATK, Universitas Janabadra, dan Universitas Proklamasi 45 yang kesemuanya tergabung dalam Indonesia Solid Waste Forum (ISWF).
Chandra juga berharap proyek Dumask bisa segera diadopsi oleh pemerintah daerah dan provinsi lainnya sehingga dapat menjadi kontribusi nyata dalam pengelolaan sampah medis selama pandemi covid-19 di Indonesia.